Sunday, October 1, 2017

AKU BERJANJI (SAJAK)



Aku berjanji pada diriku untuk
hilangkan dirimu yang bersemayam di jiwaku.

Di dalam kamar yang temaram, aku berjanji 
hati dan pikiran-ku takkan ku relakan
bahkan untuk mengeja namamu.

Cukuplah kau menjadi bayangan indah di mata ku.
Tanpa merusak hati yang telah tertata rapi.

Dan bila, kau sadar diri pergilah sejauh mungkin
hingga aku tak bisa melihat-mu lagi.

Karena kehadiranmu itu kurindukan
sekaligus menyakitkan untukku.

Thursday, September 28, 2017

LDR (PUISI)




Ada hari di mana aku ingin tidur lebih lama lagi.
Berteman dengan malam yang langitnya dipenuhi bintang.
Tapi apa daya mentari terus saja menimpa wajah-ku,
ia tak membebaskan-ku untuk terus berada dalam mimpi.
Aku telah terjaga, dan membiarkan mataku melihat bayang-mu.
Menatap bayang-mu, tak hentinya membuat-ku mengeluarkan air mata,
hingga aku tersimpuh lemah tak berdaya.

Jika waktu mengizinkan, aku tak ingin sekadar bayang-mu,
tapi dirimu yang menemani ku di sini.
Katamu, kita ini hidup dalam realita, tapi meski begitu kesepian
yang kurasakan terus saja menggelut-ku.
Kau mungkin telah terbiasa dengan dunia barumu di sana,
namun aku di sini kehilangan dunia ku.
Kini hidupku terbatas dalam lingkaran kerinduan, seraya
menunggu-mu menembus jarak yang memisahkan kisah kita berdua.



Wednesday, September 27, 2017

SAJAK TANPA NAMA


Aku terjaga di tengah malam ini.
Suasana-nya terasa sangat dingin dan sunyi.
Entah sejak kapan kau hadir di sini.
Kau datang bersama oksigen yang ku hirup.
Lalu kau memaksa masuk dan menempati kekosongan jiwa ini.
Sudah berulang kali ku coba sembunyikan kau dalam hati.
Namun, aku selalu kalah denganmu.
Kau mempermainkan pikiran-ku,
hingga aku tak mampu lagi mengendalikannya.
Kini kau ingin menyeruak agar semua orang tahu,
bahwa hanya kau yang ada di hatiku.
Karena kamu, aku telah menjadi manusia bodoh,
sampai aku tak tahu, harus ku berikan nama apa sajak ini.

Monday, September 25, 2017

WAKTU ITU (PUISI)


Waktu itu, di bulan September tahun lalu.
Sinar mentari begitu menyengat, tapi aku tak peduli.
Aku terus saja berlari hingga jatuh berkali-kali.
Aku tak hentinya mengejar bayang yang ada di depanku.

Waktu aku berada di hadapanmu, aku sadar akan sesuatu.
Aku sadar, bayangmu dan bayangku tak pernah menyatu.
Saat itu kau akhirnya mengaku, bahwa selama ini kau hanya menjelma.
Mendengar perkataanmu, tubuhku langsung hancur menjadi tanah.

Angin berembus kencang, hingga membuatku retak.
Aku telah menjadi tanah kering di musim kemarau.
Daun-daun gugur pun tak bisa membantu.
Padahal mereka telah rela membusuk bersamaku.

Aku lelah dengan musim yang menyakitkan itu.
Kubiarkan angin menusuk, hingga aku semakin pecah.
Ketika aku pasrah, tiba-tiba hujan menyapaku mesra.
Hingga rintik-rintik nya mampu membuatku merindukan waktu itu.

Saturday, September 23, 2017

RINDU YANG TAK BIASA (SAJAK)

Aku berpikir bahwa kau menyukai-ku
Aku berpikir kau merindukan-ku.
Sama seperti aku.
Kau tak pernah sekali pun menyatakan perasaanmu
Dan, sama sekali tak pernah kauperlihatkan padaku.
Begitu juga aku.

Lalu, apa yang aku rasakan ini?
Suka?
Kita tak saling mengenal.
Rindu?
Tak ada sesuatu yang kita kenang.
Aku tak henti-hentinya berpikir.
Meski pun waktu terlalu berlari.
Seolah kita mengejar cinta yang ada di ujung negeri.

Aneh!
Bukankah, seharusnya cinta datang menghampiri.
Tapi kita malah memilih menghampiri.
Seakan membawa rindu yang terpendam.
Entah itu hanya rinduku, atau rindu kita.

(Zea Sastra)






Friday, September 22, 2017

SEPENGGAL KISAH MARYUMAH (PART 2) CERPEN



 "Dalam gelap yang begitu pekat, cahaya mampu bersinar menembus dinding keras, meski lewat celah-celah kecil sekalipun."
“Kita turun di sini ya! Lebih aman.”
Dengan pasrah, Maryumah berjalan mengikuti suaminya untuk turun dari andong yang membawanya dalam perjalanan yang melelahkan. Untung saja, tadi Umar melihat ketika ada teng rombongan tentara Jepang yang akan melintasi jalan yang sama dengan mereka. Semak belukar, dan hutan jati terpaksa mereka lewati dengan berjalan kaki.
Umar berjalan di samping Maryumah. Nampak jelas di wajah Istrinya, bahwa ia sangat kelelahan.
“Kita berhenti dulu di sini!” seru Umar, seraya menggandeng istrinya untuk duduk di atas batu.
Maryumah mendekap putri sulungnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan sebelah-nya sibuk menyeka keringat yang mulai membanjiri dahinya.
“Sabarlah, sebentar lagi sudah sampai.” ucap Umar.
Entah berapa kilo meter lagi ia harus melangkah kakinya yang mulai kelelahan, di tambah lagi ia berjalan tepat matahari di atas kepala mereka. Maryumah mencoba menahan rasa mual,  dan nyeri yang sesekali datang. Ia tahu apa yang di lakukan Umar, untuk keselamatan ia dan anaknya.
***
Umar nampak begitu gagah, tapi bukan di mata Maryumah sebagai istrinya, melainkan di mata penduduk yang menggantungkan nasibnya selama dua tahun ini. Suaminya kini bertugas sebagai pimpinan gerakan pemuda Hasbullah di desa Kencong, Jember. Kesibukannya, membuatnya jarang membacakan Maryumah buku cerita roman lagi, yang dulu ia lakukan setiap menjelang tidur. Meski, istrinya kini sudah pandai membaca buku berbahasa Indonesia.
Setiap malam, Maryumah di penuhi dengan perasaan kekhawatiran. Ia tak sengaja mendengar percakapan anggota gerakan Hasbullah, bahwa suaminya sudah mulai menjadi incaran tentara jepang. Malam di tempat ini begitu gelap, penduduk takut untuk menyalakan lampu templok. ada perasaan ia ingin kembali ke tempat kelahirannya, tapi ia tak mungkin sanggup meninggalkan Umar sendirian.
Rasa kekhawatiran yang tak kunjung selesai menjalar ke janin  Maryumah, ia harus merelakan anak yang masih dalam kandungan delapan bulan, anaknya yang sudah tak bernyawa terpaksa dilahirkan. Maryumah begitu terpukul, melihat bayi laki-lakinya meninggal, begitu juga Umar, ia sangat menyesal tidak bisa menjaga istrinya.
Air mata Maryumah seakan tak mau berhenti, padahal kematian bayinya sudah lewat satu minggu. Demi kebaikan sang Istri, Umar menitipkan putri sulungnya yang bernama Asiyah ke ibu angkat yang juga tinggal di daerah Jember.
Malam itu begitu dingin, Namun Maryumah menguatkan diri untuk terjaga. Melihat suaminya yang berbaring begitu pulas di sampingnya, ia tidak ingin membangunkan suaminya. Tapi, kebaikan bukan hanya untuknya, namun untuk kebaikan keluarga. Di tengah malam, itu mereka berdua bertasbih, bersujud kepada Allah sebagai sang pencipta, dan Zat yang membolak-balikkan. Ter-sisip doa diantara dua pasangan tersebut, agar putri sulungnya bisa kembali dekat pada mereka, dan agar mereka kembali di karunia anak.
Meski ngantuk terdera, selama beberapa bulan, Maryumah dan Umar selalu terjaga saat tengah malam tiba, saat yang terdengar hanyalah suara ayam yag berkokok saling bersahutan. Hingga, setelah enam bulan, tibalah waktunya doa mereka terjawab.Begitu bahagianya Maryumah merawat janin di dalam kandungannya, hingga setelah sembilan bulan, ia melahirkan seorang putri kecil yang begitu cantik, yang ia beri nama Amira.
Setelah beberapa tahun kelahiran Amira, Maryumah dikaruniai dua orang anak laki-laki.
***
Bahagia tak terkira yang dirasakan pasangan suami istri, ketika mereka kembali ke tempat asal Maryumah. Kepemimpinan Umar yang tegas membuat Maryumah menjadi lebih tangguh. Ia seperti tak kenal takut. Meski, letusan Meriam terdengar ketika ia berjalan ribuan kilo meter.
Lima belas tahun, setelah kebebasan Indonesia dari penjajah, Umar di angkat sebagai ketua pengadilan. Tapi, Umar juga tidak membiarkan ilmunya hilang begitu saja, ia menjadi seorang guru di sekolah rakyat. Maryumah begitu bangga dan kagum dengan suaminya. Sebagai istri yang sholehah, ia menjaga ke dua belas anaknya yang masih kecil-kecil, untuk menutupi kebutuhan suaminya, Maryumah menerima upah dari hasil menjahit baju.
Keluarga mereka begitu di sanjung dan dihormati oleh para tetangga. Sampai akhirnya, di suatu malam yang di selimuti hawa dingin. Membalikkan hidup mereka. Diam-diam, Amira pergi dari rumah melewati gelapnya malam, air sungai yang tenang seakan ikut menyembunyikan kepergian-nya.
Bersambung